eh gan, nih postingan baru ambo.. emang agak serius sih, agak tertarik ma politik ki? khususe politik Islam. dari berbagai sumber, ambo ringkes aja jadi ini suntingan ambo tersebut.
Islam dan politik modern
Persoalan antara islam dan Negara
dalam masa modern merupakan salah satu subjek penting, yang meski telah
diperdebatkan para pemikir islam sejak hampir seabad lalu hingga dewasa ini,
tetap belum terpecahkan secara tuntas. Keragaman bentuk kenegaraan dan
pengalaman politik “Negara-negara islam” dewasa ini selain bersumber dari
perkambangan pemikiran dan perbadaan pendapat dikalangan para pemikir politik
muslim tentang hubungan antara din dan dawlah dalam masa modern,
harus diakui juga banyak dipengaruhi tingkat kedalaman pengaruh barat atas
wilayah muslim tertentu.
Era modern adalah salah satu masa krisis terberat
dalam sejarah masyarakat islam. Krisis ini muncul bukan hanya disebabkan
suasana malaise dikalangan umat islam, tetapi lebih – lebih lagi karena
kontak dan perbenturan dengan kekuatan politik dan militer eropa, yang terus
menanjak sejak akhir abad ke-18. Eropa sejak periode ini mempunyai kekuatan yang
memadai untuk langsung menantang kaum muslimin. Ekspansi imperialism dan
kolonialisme eropa ke wilayah – wilayah islam tak hanya menciptakan
disintegrasi politik islamdom, tetapi lebih jauh lagi mengoncangkan jati dirinya.
Perkembangan awal islam modern
Tinjauan terhadap hubungan antara
islam dengan politik dan system ketatanegaraan pada masa – masa awal islam
mengungkapkan fakta sejarah yang sangat kaya sekaligus kompleks. Dengan
demikian, pada dasarnya dalam islam tidak ada pemisahan antara agama (din)
dan politik (siyasah). Pada masa awal islam, setelah hijrah ke madinah,
Nabi membangun satu bentuk Negara – kota (city-states) dimadinah yang bersifat
ketuhanan. Dalam perjalanan sejarah, dari bentuk Negara semacam itu berkembang
konsep yang disebut sementara pemikir politik islam, semacam al-mawdudi,
sebagai Negara theo-demokratik, karena juga berdasarkan pada prinsip syura (
musyawarah ). Dalam membuat keputusan, nabi Muhammad sebagai pemimpin politik
Negara muslim tidak jarang meminta masukan dari sekelompok kecil elit
pengikutnya ( sahabat ). Prinsip syura dan piagam madinah yang diantara lain,
menjamin kebebasan beragam dikalangan warga Negara madinah, sering dikemukakan
banyak sarjana muslim dan bahkan beberapa sarjana barat sebagai bukti adanya
demokrasi dalam system kenegaraan klasik.
Ekspansi barat
Respon kaum muslimin terhadap
kekuatan dan dominasi eropa Kristen berkisar dari penolakan sampai adaptasi,
dari penarikan diri sampai akulturasi dan penarikan islam. Bagi banyak
kalangan, pemerintah colonial telah mengubah wilayah yang semula dikuasai islam
(Dar al-islam) menjadi wilayah peperangan (Dar-al-harb, yakni wilayah non
islam. Beberapa pemimpin muslim menganggap bahwa respon paling tepat terhadap
ancaman asing adalah perang suci (jihad) atau hijrah ke wilayah muslim. Sebagai
missal, di india abad ke 19, syah abd al-aziz, putra tokoh reformasi
terkenal wali Allah, mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa india –yang pada
saat itu berada dibawah kekuasaan inggris- adalah wilayah perang dan
jihad atau hijrah merupak respon paling tepat dalam menghadapi situasi
tersebut. Sementara beberapa kalangan muslim memutuskan untuk hijrah ke wilayah
muslim, sebagian muslim lainnya memilih bergabung ke dalam barisan jihad.
Meski demikian, mayoritas kalangan
tradisionalis menyerukan kebijakan isolasi kebudayaan yakni penarikan diri dan
non kooperasi. Mereka menyamakan semua bentuk kerjasama politik dengan barat
atau adaptasi terhadap kebudayaan barat dengan pengkhianatan atau penyerahan
diri. Namun, selama paruh kedua abad ke-19 itu juga muncul satu generasi
mujadidd (pembaru atau lebih tepatnya modernis) islam, seperti jamal al-di
al-afghani dan Muhammad abduh yang berusaha mempersatukan dan memperkokoh
masyarakat – masyarakat muslim melalui upaya pembaruan iman dan masyarakat itu
sendiri. Dengan bekal pengetahuan mengenai kekuatan ilmiah dan politik yang
dimiliki barat modern, kaum modernis menjauhkan diri dari kecenderungan
penolakan yang yang diidap kalangan konservatif religious. Mereka sekaligus menolakan
gagasan dan kebijakan sekuler yang diperjuangkan oleh elite muslim yang terlalu
terorientasi kebarat.
Ilmu politik Islam secara global
dapat dipahami sebagaimana ilmu politik pada umumnya, hanya saja ia membatasi
dirinya pada pendasaran penggalian ide-ide politik pada sumber pokok hukum
Islam, yaitu Al Quran dan sunnah Nabi SAW, sehingga kalau ada pendapat bahwa
semua politik itu kotor, sungguh tidak benar sama sekali. Politik adalah suatu
kebijakan yang diambil untuk kebaikan bersama. Suatu kebijakan tidak mungkin
diambil untuk tujuan yang kotor dan tidak baik. Andaikata fakta berbicara bahwa
politik itu mendatangkan kekotoran, ketidakjujuran, maka hal demikian bukanlah
politik. Tapi suatu tindakan kotor yang mengatasnamakan politik. Dalam
pandangan Islam, politik pendidikan nasional kita haruslah: pertama, membangun
iman. Tujuan pendidikan menurut Islam adalah membangun iman manusia,
meningkatkan ketakwaan, berakhlak mulia, menguasai ilmu, beramal saleh dan
berbuat kebaikan. Jadi, melihat kehidupan politik kita dewasa ini, pendidikan
Islam harus berbuat sesuatu untuk melahirkan suatu budaya politisi baru yang
tidak keluar dari tujuan pendidikan Islam itu. Budaya politik yang akan
mendorong para politisi kita untuk bertindak secara bersih, jujur dan cerdas.
Memang tentu saja budaya politik yang patriotik tidak akan pernah ada. Selalu
akan tetap terdapat unsur-unsur hedonistik dalam budaya politik yang “paling
baik” pun. Akan tetapi, persoalannya bukan mengembangkan budaya politik yang
bersih dari cacat, melainkan mengurangi sejauh mungkin unsur-unsur hedonistik
dan mengoptimumkan watak humanistic-patriotik dalam budaya politik yang akan
dibangun bangsa.
Pendidikan Islam, merupakan wahana
yang harus dipergunakan untuk melahirkan generasi politik baru di kalangan
muslim Indonesia yang akan membentuk budaya politik baru. Lahirnya generasi
politik yang baru di masa depan, generasi politik yang lebih humanistik,
patriotik, santun, bersih, serta cerdas daripada generasi politik yang ada
sekarang ini, amat bergantung pada dua hal: kuat lemahnya keinginan kita untuk
melahirkan budaya politik baru dan kuat lemahnya keyakinan kita bahwa
pendidikan dapat berbuat sesuatyu untuk melahirkan generasi politik yang akan
mampu mengembangkan budaya politik baru tadi. Mudah-mudahan tulisan ini dapat
merangsang pemikiran yang segar dalam masyarakat mengenai peranan pendidikan
Islam dalam membentuk masa depan bangsa.
komen ya gan, kalo ada uneg-unegnya.. ^_^
Comments
Post a Comment